Home | Scholarly Writing | Popular Writing | Humor | Link | Profile  

 

Sunday, March 14, 2010

Obrolan tentang Makna dan Adab Doa

By: Asfa Widiyanto

Tersebutlah di suatu desa, hiduplah seorang Gus (G) dan Dul Kiyik (D), tentunya bersama-sama dengan yg lain (serakah amat kalau satu desa dihuni sendiri). Di suatu hari. di siang yang bolong-bolong terjadilah perbincangan sengit dan menyengitkan. Dah ah kelamaan ceritanya. Kayak cerita jadul aja. Silakan Gus dan Dul Kiyik bicara. Mari kita simak bersama pembicaraan mereka.

D: Assalamu’alaykum Gus
G: Wa’alaikum al-salam. Silakan duduk.
D: Gini Gus, tujuan kedatangan saya kemari pertama utk silaturahim dengan Gus. Yang kedua adalah ingin menanyakan sedikit tentang hal yang sekarang menjadi bahan pikiran saya, yakni tentang doa.
G: Silakan Kang. Dengan senang hati kalau saya bisa membantu, tentunya menurut kemampuan saya. Kalau nanti kurang jelas, nanti bisa ditanyakan pada Mbah Kyai atau ‘ulama yang lain.
(Kemudian datanglah seorang santri, membawakan teh untuk mereka berdua. Pada pertemuan Gus dan Dul Kiyik kemarin, si Gus tidak menawarkan minuman pada Dul Kiyik, mungkin karena keasyikan ngobrol, atau mungkin karena saat itu tidak ada santri yang tahu kalau ada tamu, atau karena yang nulis cerita lupa menulis tentang itu. Tak tahu lah)
D: Ada yang mengganjal benak saya, yakni tentang doa orang yang teraniaya. Betulkah doa orang yang teraniaya itu sangat manjur, mustajab?
G: Ada beberapa hadits tentang itu memang. Salah satunya menyebutkan bahwa ada tiga doa yang mustajab, yakni doa orang yang teraniaya, doa orang yang bepergian dan doa orang tua pada anaknya. Ada lagi hadith lain, “hendaklah engkau menjaga dan berhati-hati terhadap doa orang yang teraniaya, karena antara dia dan Allah itu tidak ada penghalang”.
D: Bolehkah kita menggunakan hadits tersebut sebagai dalih untuk balas dendam, balik menyakiti orang yang kita anggap menganiaya kita, dengan mendoakan yang jelek-jelek pada orang itu?
G: Pertanyaanmu bagus sekali Kang. Terus terang saya jadi semangat untuk memberikan sedikit penjelasan. Saya memahaminya kok seperti ini Kang, hadith tentang doa orang yang teraniaya tadi titik tekannya lebih pada mengingatkan kita agar kita berhati-hati dalam berinteraksi dengan orang lain, lebih hati-hati dalam menjaga perasaan orang lain. Karena dikhawatirkan kita secara tidak sengaja menyakiti perasaan orang lain, apalagi dengan sengaja Kang. Jadi hadith ini lebih mengajarkan sikap empati, „tepa slira“ dan sebangsanya.

Memang, benar seperti yang sampeyan katakan tadi Kang. Ada orang yang kadang menjadikan hadits ini untuk melegitimasi nafsu kita untuk membalas dendam pada orang lain. Padahal sebenarnya kadang kita tidak benar-benar teraniaya, terzalimi, tapi itu hanya „perasaan“ kita, yakni hanya „merasa dizalimi“.
Dalam beberapa hal, „doa“ yang seperti ini, agak mirip dengan teluh, santet, yakni mengalirkan dan mengarahkan energi negatif kita untuk menyakiti orang lain. Makanya kadang sebelum kita melakukan sesuatu, kita harus tanyakan pada hati kita (sabda Rasulullah, „istafti qalbak“): benarkah, selayaknyakah, pantaskah saya mendoakan jelek pada orang lain.

Adakalanya juga orang merasa bahwa doanya itu dikabulkan, diijabahi oleh Allah. Dia pernah merasa dizalimi oleh seseorang dan berdoa pada Allah, dan kemudian ternyata orang yang didoakan tadi benar-benar sakit di kemudian hari. Dari situ dia merasa bahwa Allah mengabulkan permintaannya, karena dia merasa saleh, rajin sholat, puasa sunnah dan sebangsanya.
Kata para ‚ulama, salah satu "penyakit" dan "jebaikan" orang ahli ibadah itu adalah takabbur, tinggi hati, merasa paling bersih, merasa paling suci, sehingga doanya dikabulkan oleh Allah, „ngualati“ dan sebangsanya.

Makanya kita harus sadar Kang, walau itu sulit, bahwa Allah itu Maha Tahu akan kebutuhan dan kondisi hamba-hamba-Nya. Ada kalanya doa kita kadang belum dikabulkan karena belum sesuai. Karena manusia itu kadang kalau semua permintaanya, doanya terkabul, kadang muncul rasa sombong dalam dirinya, bahwa dia adalah yang paling dekat dengan Allah, paling suci dan sebagainya. Jadi kadang terpenuhinya keinginan kita itu adalah „istidraj“, „imtihan“, „ujian“, „nglulu“, apakah dengan demikian kita bisa menahan ego kita, nafsu kita atau tidak.

D: Makasih Gus. Saya jadi paham, jadi titik tolaknya pada hati kita. Doa kok untuk menyakiti orang lain. Agak kontradiktif juga ya Gus.
G: Dalam hal ini saya sependapat dengan sampeyan Kang. Kita harus menyadari bahwa membenci dan mendoakan jelek terhadap orang lain yang tidak semestinya itu kadang bisa menutup pintu kebahagiaan kita sendiri. Kita sebaiknya tidak menggunakan doa-doa untuk balas dendam, tapi untuk menebarkan rahmat dan maslahat. Walau itu sulit. Karena manusia itu sering egois.
O ya, ngapuntene Kang. Saya mau nyulut rokok dulu. Biasanya kalau saya merokok, ide saya lebih bisa keluar dengan leluasa, bersamaan asap rokok yang mengepul kemana-kemana. Ini silakan kalau mau merokok. Silakan ambil. Jangan malu-malu.

D: Makasih Gus. Tentunya tidak akan saya sia-siakan kesempatan berharga ini. Rokok Gus kan barakah. O ya Gus. Jadi sebenarnya bagaimana kita harus berdoa pada Allah?
G: Terus terang ini pertanyaan sulit. Saya hanya beri penjelasan sedikit. Bahwa dalam berdoa kita selayaknya muhasabah, introspeksi, apakah doa kita itu hanya karena dorongan „daya-daya rendah“ yang ada pada diri kita (dorongan nafsu kita) atau itu bersumber dari „jiwa ruhani“ kita. Karena kadang kita sebagai manusia itu terlalu banyak keinginan, semuanya diminta. Semua hal yang indah dipandang mata diinginkannya. Padahal itu belum tentu baik buat kita.
D: Ada yg belum paham nih Gus. Allah sendiri berfirman „ud’uni astajib lakum“ (berdoalah pada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan doamu). Sementara tadi Gus sendiri mengatakan bahwa kita harus melihat apakah doa kita itu dari jiwa ruhani atau dari nafsu.
G: Sekedar saya garis bawahi. Gini…. Tadi saya bilang apa Kang?
D: Tadi Gus bilang, saya garis bawahi.
G: OK, saya cabut tadi. Saya ralat. Maksud saya “sekedar saya tekankan” bukan “saya garis bawahi”. Kedua premis tadi, kedua hal tadi tidak bertentangan. Allah memang menganjurkan kita berdoa. Bahkan dalam sebuah hadith qudsi diriwayatkan bahwa Allah akan murka kalau ada seorang hamba yang tidak mau berdoa. Dan yang saya sampaikan tadi, tentang doa dari jiwa ruhani, itu adalah muhasabah dari kita, adab kita dalam berdoa. Seperti halnya kita dianjurkan untuk berprasangka baik kepada Allah, terutama dalam berdoa. Sehingga kalau doa kita dari belum terpenuhi, kita menyalahkan keadaan, menyalahkan teman, menyalahkan orang tua, dan sebagainya.
D: Lalu gimana Gus, cara bedakan doa yang muncul dari jiwa ruhani dengan doa yang muncul dari nafsu kita?
G: Itu pertanyaan sulit. Saya tidak bisa menjelaskan secara teoritis. Tapi hanya satu pesan saya, tanyalah pada hatimu, apakah itu permintaan dari nafsu atau dari jiwa ruhani. Saya yakin sampeyan nanti bisa paham sendiri setelah menamatkan ngaji dua kitab kemarin ke Mbah Kyai. Hal-hal seperti itu kadang tidak bisa kita pahami kalau kita "ngeyelan", "ngototan", "sok tahu" dan sebangsanya. Sebaliknya, hal-hal seperti akan mengejawantah dalam diri kita kalau kita bisa menekan ego kita.
D: Gus boleh tidak saya tanya yang agak personal?
G: Silakan Kang.
D: Saya kang pernah naksir seorang cewek, tapi cewek tersebut sama sekali tidak ada perasaan ke saya. Kemudian saya berdoa, “Wahai Dzat yang Membolak-balikkan hati, lunakkan perasaan dia padaku”.
G: Heheh. Lagi patah hati ya Kang? Semoga cepat sembuh dan dapat ganti. Rajin-rajinlah facebook-an. Kalau untuk kamu, facebook itu hukumnya sunnah, heheh. Ini juga perlu kita tanyakan pada diri kita, benarkah itu si cewek akan bahagia kalau bersamamu. Kita harus berpikir dari perspektif lain, mengembangkan empati kita. Allah itu bukan Tuhannya kamu sendiri. Tapi Allah adalah Tuhan seluruh manusia, seluruh alam semesta raya ini.
Sekedar pendapat pribadi saya, doa seperti ini dalam beberapa hal agak mirip dengan „guna-guna“, mengarahkan energi dan sugesti kita pada orang lain, agar orang lain mencintai kita. Sebuah tindakan yang tidak selayaknya kamu lakukan, sebagai makhluk yang gentle. Apalagi kamu adalah santri saya. Ngisin-ngisini, heheh.

Ada juga yang kadang kurang konsisten. Ada cowok misalnya yang mendoakan jelek pada cewek yang dianggap menyakiti hatinya karena si cewek ini dianggap tidak peka terhadap perasaan si cowok tadi, padahal si cowok dah menaruh perhatian ke dia dan memimpikannya tiap hari. Cowok tersebut kemudian berusaha mendoakan jelek pada si cewek tadi. Tapi di kemudian hari, si cowok juga memohon pada Allah, seraya berucap. „wahai Dzat yang Membolak-balikkan hati, mohon lunakkan hati Fulanah agar dia mau menerimaku“. Ini menurut saya, sebagai manusia biasa, agak kontradiktif, paradox, Kalau memang si cowok itu bener-bener cinta pada si cewek, kok bisa-bisanya dia mendoakan jelek pada si cewek, melihat si cewek kesakitan dan sebagainya. Dan yang kedua, kalau emang si cowok itu benar-benar cinta dan berhati lapang, tentu dia tentu akan membiarkan cewek yang diimpikannya bahagia sekalipun tidak bersamanya, daripada harus bersamanya hanya karena belas kasihan atau „pesona magis sesaat“.

D: Makasih Gus. Ternyata Gus paham tentang lika-liku asmara juga.
G: Heheh. Tapi sebentar….tadi tujuanmu kesini tadi untuk minta nasehat atau curhat (curahan hati)?
D: Ya dua-duanya lah. Juga minta rokok juga. hehe.
G: Kamu emang cerdas. Saya bangga punya santri seperti kamu.

Kemudian muncullah tukang sulap (S). Tukang sulap ini mengucapkan salam kemudian mencium tangan Gus. Si tukang sulap mengulurkan bungkusan yang ternyata berisi rokok pada Gus. Walah.
G: Makasih Kang. Sampeyan sudah ngasih saya rokok.
S: Sama-sama Gus. Itu tadi ceritanya gini Gus. Saya kan tadi waktu sholat jumat, datang paling pertama. Kemudian datang seorang Bapak yang terkesan dan menghadiahin saya rokok 3 pack. Pertama saya kaget, karena saya lagi terkantuk-kantuk. Saya teringat hadith Nabi, bahwa yang datang pertama waktu solat jum’at itu dapat onta, maka saya bertanya pada Bapak tadi, “makasih rokoknya Pak. Tapi sabda Rasul, kalau datang pertama jum’atan dapat onta, kok saya dapat rokok?”. Bapak tadi menjawab, “Ya onta nanti insyaallah di akhirat. Ini di sini, kamu saya hadiahi rokok”. Saya tetap ngeyel Gus, “tapi saya mengharapkan onta Pak, untuk beli mobil”. Bapak tadi tertawa, “Gini aja. Kita bikin kompromi. Sampeyan kan tukang sulap. Coba itu rokok kamu sulap jadi onta”. Saya cuma bisa garuk-garuk kepala Gus.
G: Heheh. Menarik ceritamu.
Oya, silakan ini kalian berdua nikmati makanan kecil ini. Dan ini juga rokok dari tukang sulap kita nikmati bersama-sama, mumpung belum disulap dia jadi onta-))

*****
(Ceritanya sebenarnya masih bisa diteruskan. Tapi karena yang nulis dah capek terpaksa dicukupkan sekalian dulu, sekalian membiarkan ketiga orang tadi makan dan merokok dulu, kasihan kan dari tadi disuruh ngobrol. Apa tidak capek )

(Am Jesuitenhof, Bonn, medio Maret 2010. Dr. Asfa Widiyanto, M.A.)

 

 

<< Home

2 Comments:

At March 14, 2010 at 7:40 PM, Blogger Asfa Widiyanto said...

thanks for Adib, Mansur, Husnul, Meryem, Fatima, Mas Kholis, Kang Oman, Pak Tomo, Pak Zuhri, Pak Fathur, Pak Wahyu, Mas Kus, Farah, Rangga, Satria, Pak Bram, Maya, Evi, Kang Deden, Bu Emi, Anni, Ike, Kang Tomi, Fitria, Reni,Kang Asep, Adam,Pak Supriyatna,and many others who with their own ways have inspired me to write this article. Matur nuwun.

 
At March 14, 2010 at 7:41 PM, Blogger Asfa Widiyanto said...

thanks also to Pak Taufiq, Ika, and Fa'iq

 

Post a Comment

 

    
Powered by: Blogspot.com, Copyright: Dr. Asfa Widiyanto, 2010. Recommended browser: Mozilla Firefox / Internet Explorer